-->

Degradasi identitas seni

Degraditasi identitas seni
http:Tableex.blogspot.com
Tanpa jilbab, dengan pakaian yang seksi, gadis-gadis dalam tayangan itu terus menari-nari dengan gaya yang erotis. Mengumbar birahi dan mengundang syahwat bagi yang menyaksikannya. Begitulah kesan sepintas saat menyaksikan lagu-lagu yang diputar dalam sebuah angkutan umum L-300 beberapa waktu lalu ketika penulis melakukan perjalanan dari Bireuen-Banda Aceh. Ironisnya, tarian yang beraroma syahwat tersebut
dimainkan oleh gadis-gadis Aceh. Lirik lagu disenandungkan dalam bahasa Aceh. Liriknya tampak tidak ada yang mendidik, apalagi berisi nilai-nilai moralitas. Pemandangan seperti ini mungkin akan lumrah jika terjadi di daerah lain. Namun, ini menjadi berbeda ketika terlihat di Aceh. Dan ternyata, lagu-lagu dengan lirik-lirik Aceh yang mengumbar hawa nafsu syahwati itu banyak beredar di Aceh dalam bentuk CD-DVD. Padahal, dalam tinjauan manapun, dalam sejarahnya, semua tradisi seni dan budaya bangsa Aceh sangat kental dengan nilai-nilai Islam.

Sebenarnya, kemelut soal tradisi seni ini tidak hanya terjadi di Aceh. Hampir di setiap penjuru dunia saat ini sedang berlangsung kemelut yang berhubungan dengan masalah tradisi seni dan kebudayaan. Hal ini merupakan suatu realisasi pertarungan hak dan batil, antara nilai-nilai Islami dan jahili, anntara fitrah kesopanan dan nafsu birahi. Kemelut ini sebenarnya telah berlangsung lama, sejak kelahiran anak Adam as. di muka Bumi dan akan terus berlangsung sampai kiamat. Pertarungan tersebut berlangsung dengan sangat hebat. Arenanya meliputi semua lapangan kehidupan; di rumah, jalan, di tempat hiburan dan sekolah, di bis dan kendaraan umum lainnya, dalam majalah dan surat kabar, dalam ceramah-ceramah dan buku-buku.

Jika kita runut lebih jauh, sebenarnya fenomena pertarungan budaya ini semakin tragis dan parah semenjak dunia Islam terlena dan lelap dalam tidur panjang lebih kurang dua abad. Dan yang paling dahsyat yaitu sejak kejatuhan negeri-negeri Islam ke tangan kaum imperialis Barat. Hal itu sebagai efek kejumudan (stagnasi) umat dalam bidang mental, spiritual, cita rasa, pemikiran. Kebekuan yang telah mengubah karya dan upaya generasi sebelumnya menjadi monumen mati tanpa ruh dan lebih suka menirukan dan menelan budaya asing, tanpa berdaya membuat terobosan dan gebrakan baru sebagai alternatif dengan mentransformasi nilai-nilai Islam (values of Islam) bagi dinamika perubahan di tengah-tengah kekacauan nilai di zaman seperti ini. Pada gilirannya, umat Islam khususnya generasi mudanya telanjur sulit melepaskan diri dari seni budaya materialistis sekuler Barat, karena telah merasuk ke dalam dirinya. Tidak mengherankan lagi bila mereka tergila-gila dan menggandrungi para seniman Barat, begitu ‘ngefans‘ dan mengidolakan berbagai grup band dan musik serta personilnya, seperti band metal yang urakan dan bersimbolkan iblis dan lambang Yahudi.

Mereka tidak sempat lagi berpikir lebih jauh tentang idola-idola mereka tersebut yang faktanya kehidupan mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka telah menjadi lebih lekat di benak kawula muda Islam lengkap dengan ulah dan lika liku hidupnya. Bahkan sudah lebih lekat daripada nama-nama para Nabi dan Rasul, para pemikir dan ulama Islam serta budayawan dan seniman muslim masa kini dan yang lampau. Mereka lebih hafal dan fasih dengan lagu-lagu dan film-film ‘asing’ yang urakan ketimbang membaca surat Al-Fatihah.

Perspektif moral Islam
Dalam perspektif Islam, seni adalah sebuah refleksi dan ekspresi dari berbagai cita rasa, gagasan, dan ide sebagai media komunikasi yang bergaya estetis untuk menggugah citarasa indrawi dan kesadaran manusiawi dalam memahami secara benar berbagai fenomena, panorama, dan aksioma yang menyangkut dimensi alam, kehidupan, manusia dan keesaan/keagungan rabbani berdasarkan konsepsi ilahi dan nilai-nilai fitri yang tertuang dan tersajikan dalam bentuk suara/ucapan, lukisan/tulisan, gerak dan berbagai implementasi dan apresiasi lainnya. Seni realitanya sebagai suatu media komunikasi, interpretasi, sekaligus kreasi.

Maka, seharusnya menilai sebuah apresiasi seni tidak dapat dielakkan dari unsur-unsur dan dimensi-dimensi integralnya yang menyangkut; keyakinan, ideologi, motivasi, pola pikir, kepekaan, kepedulian, arah dan tujuan di samping aspek gaya dan estetikanya. Oleh karenanya, tidak ada satu pun bentuk apresiasi dan karya seni yang bebas nilai. Dalam Islam, seni bukan sekadar untuk seni yang hampa nilai. Keindahan bukan berhenti pada keindahan dan kepuasan estetis. Sebab, semua aktivitas hidup tidak terlepas dari lingkup ibadah yang universal. Seni dalam Islam harus memiliki semua unsur pembentuknya yang penting yaitu; jiwanya, prinsipnya, metode, cara penyampaiannya, tujuan dan sasaran. Motivasi seni Islam adalah spirit ibadah kepada Allah, menjalankan kebenaran, menegakkan dan membelanya demi mencari ridha Allah Swt. bukan mencari popularitas ataupun materi duniawi semata.

Seni Islam harus memiliki risalah dakwah melalui sajian seninya, misalnya seperti film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Ketika Cinta Bertasbih” yang kental dengan nilai Islamnya. Begitu juga nasyid-nasyid/lagu yang ditampilkan oleh grup-grup seperti Rabbani, Raihan, Bimbo, Saka, Opick, Izzatul Islam, Snada, Ruhul Jadid, Shautul Harakah, serta Kande-nya Rafli dengan aneka nasyid/lagu-lagunya yang Islami yang ternyata bahkan mendapat antusiasme terbesar kawula muda Aceh saat ini. Jadi, transformasi tradisi seni dan budaya kita sebenarnya adalah hal yang bisa dilakukan dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai Islam.

Mungkin masalahnya adalah keengganan di kalangan pelaku seni untuk mengadopsi nilai-nilai Islam, terutama karena perasaan takut menurunnya nilai-nilai komersil dalam karya seni tersebut. Maka dengan realitas kesiapan masyarakat menerima seni yang bernafaskan Islam tadi, mungkin sudah saatnya pegiat seni kita kembali ke budaya seni yang mengandung nilai-nilai Islam yang mulia. Dan Aceh punya potensi besar untuk itu.
Buka Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel